Jumat, 12 Januari 2018

Pilkada 2018: Lebak Salah satu Daerah yang Terkena Virus Calon Tunggal

Opini Oleh :Nukman Paluti Sekretaris Umum IMALA PC Serang Raya

Dalam sebuah untaian kata saya ingin tertawa sejenak hahahahahaha. Eit tapi bukan tanpa sebab, di karenakan lucunya sebuah fenomena politik yang menggelitik hati dan otak untuk berputar berpikir, bulak balik, dalam memikirkannya dan membuat saya semakin tertawa terbahak-bahak hahahahaha.
Fenomena politik tersebut tak di duga, tak di sangka, muncul tahun-tahun ini dengan atmosfer politik yang lamban, namun berkesan. Bagaimana tidak berkesan hari ini merupakan momentum parpol bersatu, baikan, tidak dendam politik, silaturahim, partner politik, dan entah kenapa harus takut menjadi poros oposisi. Semua ini berkat incumbent yang baik hati dan tidak sombong haha
Dalam pelaksanaan demokrasi prosedural, saat ini sudah berlangsung sukses dengan di selenggarakannya Pilkada, Pilbup, di setiap daerah Kota/Kabupaten khususnya di Lebak. Tetapi memang relevansi aliran parpol kini sudah tergerus dengan kepentingan parpol itu sendiri, dan parpol kini mengalami disoriented, yang dibuktikan dengan banyaknya parpol mendukung incumbent dan ini artinya, pertama, parpol gagal dalam proses kaderisasi yang menciptakan setiap regenerasi kepemimpinan. Kedua, parpol mengalami disorientasi karena tidak berupaya dalam memberikan pembelajaran politik sampai ketingkatan masyarakat kelas menengah bawah. Ketiga, politik aliran tidak relevan di era kekinian karena semakin akrabnya ekonomi dan politik.
Ada yang bilang, ini sebuah kegagalan demokratisasi di Lebak karena calon tunggal, dan ada yang bilang ini permainan KPU. Tetapi saya berpandangan berbeda, bagi saya ini adalah kegagalan demokrasi ke-Partaian dalam mewujudkan nuansa demokrasi yang dinamis. Akhirnya ber-Politik hanya kegiatan milik orang licik dan cenderung oportunis, bukan milik kaum buruh, mahasiswa, ulama, masyarakat miskin kota, dan kalangan-kalangan lainnya.
Dari opini diatas dan dapat saya simpulkan dengan munculnya sebuah pertanyaan kritis saya. Kenapa Partai Politik tidak berkeinginan menjadi oposisi penyeimbang birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan? Jika ada salah satu partai bersedia menjadi oposisi, artinya proses demokratisasi bisa di pertanggungjawabkan sesuai ranahnya dan menjadi dinamis, efektif, efisien, dalam mengatur tatanan demokrasi yang berkeadilan, humanis, dan kesejahteraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar