Senin, 03 April 2017

HILANGNYA PRINSIP CHECK AND BALANCE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN LEBAK


Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan daerah oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan negara republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
Dalam menjalankan pemerintahan yang baik menurut prinsip otonomi daerah maka pemerintah daerah harus berupaya untuk menggunakan hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus  sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat harus berdasarkan keadilan pancasila.
Dalam penyelenggaraannya yang diberikan undang-undang begitu besar terhadap pemerintah daerah, ditambah dengan adanya prinsip dekonsentrasi pemerintahan tentu ini akan memberikan peluang besar terhadap inkonsistensi dan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang pemerintah daerah. Tentu hal ini perlu adanya pengawasan (check and balance) antar lembaga negara.
Prinsip checks and balances dalam negara hukum (rechstaat) menurut Montesquieu harus ada pembagian kekuasaan (separation of power) yang didasarkan pada trias politica yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini harus saling mengawasi dan saling mengontrol.
Dalam fungsinya, kekuasaan eksekutif dalam hal ini bupati mempunyai hak dan wewenang serta kewajiban untuk menyelenggarakan pembangunan dan menjadi eksekutor pelayanan masyarakat, tentu bupati harus dikontrol dan diawasi oleh lembaga legislatif dalam hal ini DPRD.
Begitupun DPRD dalam fungsinya mengatur, membuat peraturan dan kebijakan daerah harus diawasi oleh lembaga yudikatif, dari fungsi ini bertujuan agar tidak ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang dan tidak ada keberpihakan kebijakan untuk sebagian elite kepentingan, semua harus berdasarkan keadilan dan kepentingan masyarakat seutuhnya. Tujuan inilah daripada amandemen UUD 1945 yang ke 4 dimana prinsip check and balance system harus berjalan dan efektif agar tidak ada ruang-ruang untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Faktanya adalah pemerintahan di Kab. Lebak yang berdiri sejak 2 Desember 1828 hingga hari ini tahun 2017 prinsip negara demokrasi masih jauh daripada primsip yang dicita-citakan pancasila. Kendali kekuasaan masih bersandar pada beberapa orang saja, kekuatan ekonomi masih dipegang oleh beberpa orang saja yang saya kira masyarakat tahu tentang siapa saja diantara beberapa orang yang dimaksud penulis.
Penulis tidak menyudutkan pihak tertentu hanya saja penulis resah dan galau melihat keadaan Lebak yang terus seperti rezim Soeharto, banyak istilah kajawaraan untuk menakut-nakuti masyarakat. Tentu ini menjadi masalah apabila kita biarkan, ini akan menjadikan sistem demokrasi yang saya sebut sebagai demokrasi kemunduran. Kalau saya boleh membandingkan antara demokrasi kebablasan dan demokrasi kemunduran maka demokrasi kemunduranlah yang lebih berbahaya daripada demokrasi kebablasan. Kita akan mengulang sejarah orde lama dan orde baru, dimana masyarakat sulit  dan bungkam terhadap ketidak adilan karena rasa takut. Masyarakat takut diintimidasi dan disiksa, para pejabat takut dipecat oleh atasannya, bahkan perwakilan rakyat yang ada di DPRD tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa mencegah terjadinya kooptasi kekuasaan (impoten).
Sistem oligarki yang meruntuhkan rezim Soeharto 1989 tidak semata-mata karena kebencian masyarakat terhadap penguasa melainkan karena tidak adanya sistem distribusi (distribution of power) di dalam internal pemerintahan. Adanya politik dinasti di kabupaten Lebak ini bukanlah suatu kemajuan tapi suatu kemunduran didalam negara yang menganut negara hukum. Saya lihat dan saya rasakan sebagai warga Kabupaten Lebak sejarah itu terulang kembali di pemerintahan Lebak. Hal ini yang menjadi kekhawatiran penulis apabila rezim ini terus menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, akan berakibat pada tidak stabilnya pemerintahan dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. 
Solusi yang mungkin bisa penulis tawarkan adalah kembali kepada konsep good governance dan clean governance yakni sebuah legitimasi politik yang bekerjasama dengan institusi masyarakat sipil (civil society), kebebasan berasosiasi dan partisipasi, memperkuat sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya serta memperkokoh fungsi DPRD dan para tokoh (good citizen) untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan yang baik (good parlemen).

Writer : Muhamad Zaenuri Kabid 1 IMALA  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar